Ketika Allah memberikan lebih dari yang kita minta

Sekolah S2 tidak pernah terlintas dalam pikiranku saat aku masih berada di S1. Di samping otak sudah jenuh, juga biaya yang tidak mungkin terjangkau oleh kantong ibuku, sumber dana untuk belajarku selama ini.
Dan ketika ada penawaran beasiswa Unggulan dari DIKTI tahun 2006, aku mencoba apply atas desakan pembimbing utama skripsiku dulu, Prof. Agung Purnomoadi. Dan Alhamdulillah aku pun lolos seleksi. Meski saat wawancara ada pertanyaan yang mencoba mengusik keteguhanku, tentang rancana pernikahan. Wawancara itu terjadi bulan Desember, saat aku sedang sibuk mengurus surat-surat syarat pernikahan ke kantor kelurahan dan KUA. Namun dengan tegas kukatakan bahwa calon suami sangat mendukung rencana study lanjutku ini, dan tidak akan memberikan hambatan. Alhamdulillah aku akhirnya setiap hari mengunjungi gedung Pasca Sarjana UNDIP untuk mengikuti kuliah. Rasanya sangat luar biasa.
Dari awal wawancara sudah ada iming-iming untuk program sandwich ke luar negeri, terutama ke Jepang. Siapa yang tidak terpikat? Maka dengan semangat Pejuang ‘45 kuikuti hari demi hari kursus bahasa Jepang yang disediakan secara gratis oleh Magister Ilmu Ternak. Bukan saja karena janji yang diberikan, bahwa mahasiswa yang nilai bahasa Jepangnya paling bagus akan diberangkatkan ke Jepang, tetapi juga pada dasarnya aku sudah menyukai bahasa Jepang sejak mengenal Prof. Agung Purnomoadi pada tahun 2004. Beliau 10 tahun tinggal di Jepang menyelesaikan Master, Doktor dan post doc-nya. Banyak cerita-cerita menarik yang membuat angan-anganku terbang jauh ke negeri sakura. Membayangkan betapa indah dan menyenangkannya hidup di negeri yang sangat cantik itu.
Kursus berlangsung selama 3 bulan. Pada bulan pertama semua peserta sebanyak 27 orang masih bersemangat mengikuti. Kelas yang dibagi menjadi kelas A dan B itu selalu penuh. Semua sepertinya antusias untuk mendapatkan tiket ke Jepang. Namun seiring dengan kesibukan tugas, atau mungkin kesulitan mengikuti materinya, akhirnya peserta sedikit demi sedikit menghilang dari kelas. Peserta kursus tinggal tidak lebih dari sepuluh orang setiap harinya.
Pada akhir bulan ke dua kursus, terdengar kabar yang sangat mengejutkan. Empat nama kandidat yang akan ke Jepang sudah keluar. Dalam hatiku bertanya, kok bisa? Bukankah kursus belum berakhir dan kita belum tahu siapa yang terbaik nilai bahasa Jepangnya?
Jadilah, di akhir-akhir kursus semakin tidak ada peminat yang mengikuti, tinggal segelintir orang yang memang benar-benar ingin belajar dan ingin mendapatkan ilmu, apapun bentuknya itu, dan tak menghiraukan nama-nama yang telah keluar sebagai pemenangnya. Namun, jikalau disurvei, semua hampir kecewa dengan keputusan ketua Magister, sehingga mereka melakukan protes dengan meninggalkan kelas Kursus Bahasa Jepang. Sebenarnya aku pun merasakan kebimbangan, dan sempat berpikir untuk tidak melanjutkan kursus saja. Karena berbagai pertanyaan muncul di benakku. Kenapa yang dipilih keempat nama itu? Kenapa jika keputusan nama yang akan dikirim itu sudah final tetapi kursus masih terus berlangsung? Bukankah percuma saja? Ataukah ini hanya rasa iriku yang muncul karena dari keempat nama itu tidak tercantum namaku? Ya Allah, pasti karena mereka memang yang terbaik, dan belum rejekiku untuk menapakkan kaki di tanah sakura. Aku harus ikhlas dan melanjutkan hidup (menghibur diri untuk tetap bersemangat :D). Toh keempat orang itu adalah temanku semua. Aku turut merasakan getaran kebahagiaannya karena Jepang telah ada di ujung jempol kaki mereka. 
Usut punya usut, ternyata kenapa empat nama itu yang dipilih karena pihak Jepang atau Profesor yang disana hanya mau menerima mahasiswa yang bidang penelitiannya sama dengan tema Lab yang akan ditempati. Nah, professor itu adalah Shinjo Sensei dari Breeding (menjadi rejekinya Winda Ayu Harmayanti dan Sri Purwanti yang penelitiannya adalah pemuliaan ternak). Dan satu lagi professor di Kagoshima dari Laboratorium unggas (menjadi rejekinya Hapsari Kusumowardhani dan Dani Saputra yang sedang meneliti ayam). Memang bukan menjadi rejekiku.
Akhirnya dengan niat belajar, karena aku yakin ilmu pasti akan bermanfaat, entah itu kapan, kalau tidak sekarang ya nanti, pasti ada manfaatnya (yakin banget.com), aku tetap melanjutkan kursus itu. Selain itu aku ingin menghargai dosen yang telah dengan mulianya mengajarkan ilmu bahasa Jepang, yang menarik juga, di tengah-tengah pelajaran berlangsung, pasti ada sisipan cerita dari beliau-beliau tentang pengalaman dan perjuangan yang manis di sana. Setiap hari aku masuk, dan yang membuatku makin menyukai bahasa Jepang karena bahasanya unik, beda dengan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Sungguh rumit tapi menarik.
Bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk waktu, kalimat untuk sekarang, yang lalu maupun yang akan datang, tetap sama. Sedangkan bahasa inggris, mengenal Tenses. Nah baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris pola kalimatnya adalah SPO (subjek predikat obyek). Sedangkan bahasa Jepang pola kalimatnya adalah SOP, alias kata kerjanya di belakang sendiri. Dan lagi, kalimat yang diucapkan ada yang halus (untuk ke orang yang lebih tua) dan ada yang kasar atau bahasa sehari-hari (diucapkan ke teman atau orang sebaya). Belum lagi, pola kalimat yang telah berlalu, yang sedang maupun yang akan datang, kata kerjanya mengalami perubahan. Pusing kalau dipikir. Tentang bahasa Jepang ini akan saya bahas di lembar lain saja. Kita kembali ke cerita semula. Hehehe.
Setelah tepat 3 bulan mendapatkan pengajaran bahasa Jepang, akhirnya tiba saat tes akhir. Malamnya aku belajar lembur, karena hatiku berkata, jika Jepang tak bisa kuraih, aku masih bisa meraih hal lain yang bisa membuat hatiku puas, yaitu menjadi ranking 1 di kelas bahasa ini. Hanya itu saja, menjadi juara SATU, karena harapan ke Jepang telah pupus. Huruf kanji dasar sebanyak 100 butir nyaris aku hafal, dan semua kata kerja dan kata benda telah aku libas. Jam 1 malam baru aku tidur setelah yakin aku telah hafal di luar kepala pada semua materi yang diberikan.
Pada saat hari H itu tiba, aku sudah siap bertempur. Dan anehnya semua peserta kursus yaitu 27 orang menghadiri tes. Makin membuatku bersemangat, akan aku buktikan aku yang terbaik dalam bahasa ini. Hohoho.
Semua soal kulewati dengan lancar dengan bantuan Allah tentu saja, mungkin kalau diingat aku hanya tidak bisa mengerjakan 2 atau 3 soal dari berpuluh-puluh soal yang diberikan. Alhamdulillah, aku tersenyum puas, dan yakin akan jawabanku, meski aku tak yakin akan menjadi yang pertama, tapi setidaknya aku telah berusaha maksimal.
Setelah hari tes itu berlalu, tidak ada pengumuman siapakah yang terbaik. Dan keempat temanku yang akan berangkat ke Jepang itu sudah mulai sibuk melakukan penelitian agar saat jadwal keberangkatan ke Jepang tiba, mereka sudah punya data untuk diolah menjadi tesis. Aku pun menganggap hal itu telah berlalu, tak berharap lagi tuk jadi yang terbaik, Karena memang sudah tak ada fungsinya. Namun saat temanku Restu Hidayah pada suatu hari bilang bahwa nilaiku berada di paling atas, hatiku sangat bangga (Yes! Keinginanku telah dikabulkan oleh Allah, menjadi ranking 1! Terima kasih ya Allah). Meski aku tak tahu kebenaran beritanya, karena hasil tes tidak diumumkan secara resmi. Dia pun bisa tahu dari mengintip file punya dosen yang tidak sengaja terbuka. Kata Restu, jarak nilaiku dengan yang kedua sangat juauh. Ah yang bener, jadi geer nih, pura-pura tidak percaya. Hihihi.
Tiba-tiba, suatu pagi yang cerah nan indah, beberapa nama dipanggil untuk menghadap pak Didik Wisnu di ruangan kelas. Mungkin ada sekitar 7 orang, termasuk aku. Semua hening tak bersuara, menunggu ada pengumuman apakah gerangan kok yang dipanggil cuma kami bertujuh. Dan Pak Didik akhirnya membuka suara, bahwa ada penawaran lagi untuk ke Jepang sebanyak 2 orang, hatiku berdegub hebat, dag dig dug. Pak Didik bilang kedua mahasiswa yang terpilih akan belajar di Laboratorium kimia Pakan tropis di University of the Ryukyus. Yaaaaaaaaa, dalam hati aku kecewa, bukan bidangku. Lalu beliau menjelaskan, “Yang akan ke Jepang kali ini bukan disesuaikan bidangnya, tetapi yang terbaik nilainya dalam kelas bahasa. Dan yang menjadi terbaik adalah Yuli Yanti dan Binta Rahmi. Apakah kalian mau ke Jepang? Kalau tidak mau akan saya berikan ke teman-teman yang lain yang berada di urutan berikutnya.” Pak Didik menatapku. What! Ga usah ditanya aku juga mau pake banget, hehe. “Mau Pak” jawabku polos tanpa syarat. Sedangkan Binta Rahmi menjawab, ”Bentar Pak, apakah kali ini adalah positif, takutnya saya memilih ini ternyata tidak pasti keberangkatannya, sedangkan saya harus melepaskan kesempatan ke Thailand”. Dalam hatiku heran, kok sempetnya berpikir kritis begitu ya, kok aku langsung mau aja, sedangkan dia masih mikir-mikir. Hmmm, memang terbukti cerdas temanku yang satu ini. Dan pak Didik pun menjawab ”OOO, yang ini jelas positif karena pihak merekalah yang meminta dikirimkan dua mahasiswa lagi”. Hiyaaaa bahagianya hatiku…. Seolah-olah ruangan kelas itu langsung dipenuhi oleh bunga-bunga sakura yang cantik dan aroma wanginya sampai tidak bisa tergambarkan. (Emangnya sakura wangi ya? Xixixi).
Allah telah memberikan lebih dari yang aku minta. Coba kalau malam itu aku tidak belajar serius, coba kalau aku tidak ikut kursus karena ngambek dengan hasil pengumuman awal, tentu aku tidak akan mendapatkan penawaran dari Pak Didik itu. Allah Maha Bijak, pasti akan memberikan nilai pada hambanya yang berusaha. Intinya adalah, tetaplah lakukan yang terbaik dan biarkan Allah yang memberikan reward sesuai dengan takaranNya.